Ujian Akhir Semester: Menulis Kritik Mimetik Cerpen Sang Primadona Karya A. Mustofa Bisri

Kamis, Juni 01, 2017 putriintania 0 Comments

Sang Primadona
Karya A. Mustofa Bisri

Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil. 

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal. Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.        

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.  

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.         

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.   


Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.          

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.    

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.        

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"

"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."           

"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."           

Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.   

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia mencintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.       

Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.   

Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.       

Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.         

Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.         

Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.           

Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.       

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.           

Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.           

Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.   

Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.    

Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.    

Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"      

"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.       
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.   

Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.      

Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.   

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!
  

Kritik Karya Sastra Menggunakan Pendeketan Mimetik Cerpen” Sang Primadona” Karya A. Mustofa Bisri

Cerpen Sang Primadona sangat lekat sekali dengan kehidupan nyata. Pada bagian awal cerita dikisahkan bahwa sang primadona adalah seorang yang berbakat dari kecil. Dia sering menjadi juara tari, menyanyi maupun model dan dia juga disayangi guru-guru karena sering menjadi juara. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan nyata bahwa keluarga yang berkecukupan mampu mengkursuskan anak-anaknya untuk les tari, nyanyi maupun medel. Hal tersebut terdapat dalam kutipan.
“Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara. Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.”
Dengan bakatnya tersebut dia berhasil menjadi artis ibukota yang terkenal. Dengan segala kemudahan sehingga dia melupakan pendidikannya. Dia tidak melanjutkan kuliahnya, karena dari segi finansial dia sudah mendiri dan mampu membantu saudara-saudaranya. Hal tersebut terdapat pada kutipan berikut.
“Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."
Cerminan tersebut sering terjadi pada kehidupan artis-artis ibukota yang sudah terlena materi berlimpah sehingga sering mengesampingkan urusan pendidikan. Banyak artis yang lebih mementingkan karir dari pada pendidikan meskipun ada juga artis yang tetap menomor satukan pendidikan.  Selain itu kehidupan artis identik dengan kemapanan dari segi finansial, hal ini tercermin dalam kutipan.
“Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung.
        Selanjutnya realitas yang tercermin dalam kehidupan artis adalah kehidupan asli dari artis sendiri, terutama kehidupan keluarga, terutama orang tuanya. Bagaimana sikap orang tua yang mempunyai anak seorang artis. Dalam cerpen ini dikisahkan sang primadona mempunyai seorang ibu yang perhatian terhadap anaknya, beliau sering menasihati anaknya agar selalu ingat salat, ibadah dan sedekah kepada anak yatim. Bukankah hal ini sudah sangat dekat sekali dengan dunia nyata. Karena sejatinya orang tua manapun pasti sering memberi nasihat dan memperhatikan anaknya, jangan sampai anaknya salah jalan. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
“Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang. Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.”
        Dalam kehidupan nyata tidak selamanya kehidupan selalu berjalan mulus. Begitu juga dalam kehidupan rumah tangga. Dalam cerpen ini, pada awal-awal perkawinan sang primadona tetap berjalan baik-baik saja, tetapi pada akhirnya terjadi krisis moneter dan mengakibatkan perusahaan suaminya bangkrut, dan sikap suaminya berubah dan mulai berperangai kasar. Dalam kehidupan nyata, kehidupan rumah tangga juga tidak selalu mulus, pasti ada keributan-keributan kecil yang menjadi rintangan, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
        Dalam kehidupan, pastilah kita sering jenuh dengan rutinitas yang kita lakukan, sehingga cara mengatasinya yaitu lebih mendekatkan diri dengan kegiatan keagamaan. Dengan begitu kita merasa lebih tenang, begitu juga dalam cerpen Sang Primadona, disini dia merasa penat dengan masalah yang terdapat dalam rumah tangganya. Sehingga sang primadona memilih untik sering mengikuti pengajian-pengajian. Hal ini sering kita lihat dalam kehidupan artis-artis ibukota, banyaknya artis yang mulai tertarik dalam kegiatan keagamaan mencerminkan jika kegiatan religi memang sangat berpengaruh mengingat kejenuhan pasti sering melanda para artis. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.
“Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.
        Kesibukan seorang artis terkenal dan telah aktif dalam masyarakat, pastilah sangat menggangu pertemuan dengan keluarga maupun anak-anak. Dalam cerpen Sang Primadona, diceritakan bahwa Sang primadona merasa tidak kerasan di rumah akibat ulah suaminya yang berubah dan sering marah-marah. Dan dia pun jarang berkumpul dengan anak-anaknya. Dia menyibukkan diri dengan mengurus pengajian dan menjadi salah satu panitia kegiatan keagamaan. Dan pada suatu hari dia menemukan bahwa suaminya terlibat dalam narkoba, hal ini rupanya yang membuat sikap suaminya berubah. Akhirnya dia ingin bercerai dengan suaminya. Hal tersebut sering terjadi dalam dunia nyata, terutama dalam dunia selebriti, kasus kawin-cerai sering terjadi dalam kehidupan artis. Salah satu penyebabnya yaitu masalah yang dialami seperti tokoh Sang Primadona. Seorang suami yang terlibat narkoba. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia keartisan saja, tetapi juga sering terjadi dalam dunia nyata. Masalah narkoba menjadi masalah yang pelik dan perlu penanganan khusus.





0 comments:

Ujian Akhir Semester: Menulis Esai Panjang Dengan Judul Sudah Siapkah?

Kamis, Juni 01, 2017 putriintania 0 Comments

Sudah Siapkah ?

Kemajuan zaman tak terasa seiring dengan perkembangan teknologi. Teknologi akan bermanfaat apabila digunakan dengan baik. Sebaliknya,  penyalahgunaan teknologi hanya akan mengakibatkan kerusakan pada tatanan kehidupan dunia.
Dunia memang sedang mencari keseimbangan. Di tengah maraknya fenomena perilaku menyimpang dari moral yang melibatkan pelajar sebagai pelakunya, seperti seks bebas, pornografi, penyalahgunaan narkoba dan miras (minuman keras). Bahkan, kasus-kasus korupsi, kolusi, dan manipulasi banyak melibatkan orang-orang yang terdidik dan terpelajar. Hal ini, merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan yang idealnya melahirkan generasi-generasi yang berguna bagi masa depan bangsa dan negara.
Bukan hanya itu saja, Sistem Pendidikan di Indonesia kini dirasa kurang tepat untuk mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.  Pelajar atau peserta didik cenderung berfikir untuk mendapatkan nilai setinggi - tingginya daripada memperoleh ilmu yang sebanyak-banyaknya. Pendidikan yang baik, seharusnya lebih memfokuskan minat dan bakat siswa pada suatu hal. Pada kenyataanya, peserta didik dihadapkan dengan bermacam-macam mata pelajaran yang terkadang masih dibagi-bagi lagi menjadi sub mapel. Mengapa demikian? Alasannya agar setiap materi lebih mudah dipelajari oleh peserta didik. Namun, faktanya perincian tersebut malah merugikan peserta didik karena konsentrasi peserta didik terpecah atau terbagi-bagi.
Sebenarnya, Kurikulum Pendidikan di Indonesia sudah memiliki tujuan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia yang mulai mengalami miskin martabat dari waktu ke waktu. Tetapi, penerapan konsep kurikulum yang awam ini dirasa masih sangat berantakan. Masih sangat banyak orang yang menyepelekan cara penerapan kurikulum dengan baik dan benar. Mereka tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan kesalahan fatal yang terjadi di dalam dunia pendidikan. Sesempurna apapun kurikulum disusun, namun jika pelaksanaannya tidak dilakukan secara maksimal, maka kurikulum tersebut hanya akan menghambat perkembangan sistem pendidikan di suatu negara.
Kini, cara memaksimalkan penerapan sistem pendidikan di Indonesia masih menjadi tanda tanya besar bagi pemerintah dan masyarakat. Apalagi, semakin banyak masalah di dunia pendidikan yang muncul dengan bertubi-tubi.
Salah satu contoh masalah utama yang sampai saat ini belum dapat terselesaikan adalah  banyaknya penduduk Indonesia yang mengesampingkan pendidikan. Padahal, berbagai upaya telah dilakukan untuk membendung hal tersebut.  Pemerintah membentuk program wajib belajar 9 tahun dan juga program sekolah gratis. Namun, progarm-program tersebut belum bisa merambah ke pelosok - pelosok desa. Khususnya pada masyarakat kalangan bawah.
Bagaimana nasib bangsa Indonesia di masa depan, apabila generasi muda putus sekolah karena tidak memiliki biaya? Maka, bangsa Indonesia akan tenggelam dari era globalisasi ini dan hanya bisa kita lihat namanya di buku-buku sejarah kelak.
Lalu, langkah apa yang dapat kita ambil untuk mengatasi masalah tersebut sebagai seorang pelajar? Sebagai peserta didik yang baik sudah selayaknya kita harus bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan melakukan hal tersebut, kita telah mendukung perkembangan sistem pendidikan di Indonesia serta mengurangi masalah-masalah yang terjadi pada dunia pendidikan. Selain itu, kita juga telah menerapkan kurikulum yang ada di Indonesia dengan melakukan hal positif dan menghalau dampak negatif globalisasi yang telah merajalela.
Sebagai pelajar, kita harus beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mendekatkan diri pada Tuhan, maka kita telah membangun benteng keimanan agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif yang merugikan diri sendiri dan masyarakat luas.
 Memiliki sikap kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai hal juga perlu kita terapkan. Untuk itu, diperlukan kreatifitas dan potensi diri. Dalam  menyempurnakan kreatifitas, kita membutuhkan potensi, kemampuan, serta wawasan pengetahuan yang luas. Dengan memiliki hal tersebut, maka kita dapat menyelesaikan berbagai masalah yang kita hadapi. 
Setiap orang tentunya harus memiliki tanggung jawab tinggi karena tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting. Pelajar yang memiliki tanggung jawab akan dengan mudah menyelesaikan berbagai masalah dan  dihormati oleh orang lain. Karena pada hakikatnya, seorang pelajar nantinya akan menjadi pemimpin yang diharapkan bisa lebih baik dari pemimpin  - pemimpin yang sebelumnya.
Sebagai warga negara, sudah pasti kita mengharapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki kepribadian, harkat, serta martabat yang  baik. Untuk itu, kita harus melakukan tindakan demi menjunjung tinggi harkat martabat bangsa Indonesia yang semakin lama semakin menghilang.
Bagaimana ? Sudah siapkah kita memajukan pendidikan serta menjunjung harkat bangsa Indonesia ?
Ya. Kita Harus Siap !!






0 comments: