Kritik Pragmatik: Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy
SINOPSIS
NOVEL AYAT-AYAT CINTA
Novel
Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy mengisahkan ten-tang seorang
tokoh bernama Fahri yang merupakan pemuda dari Indonesia yang menuntut ilmu di
Universitas Al-Azhar, Mesir. Adapun syarat untuk bisa menjadi pelajar di
Universitas Al-Azhar adalah harus dapat menghapal Al-Quran. Fahri yang
merupakan pribadi yang sangat menjunjung nilai-nilai keimanan dalam
aga-ma Islam tentu saja hapal Al-Quran. Nilai-nilai keimanan itulah yang dia
praktik-kan dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun
ia tinggal di sebuah rumah susun tanpa sanak keluarga dari In-donesia, namun
dia beruntung karena mengenal keluarga yang begitu baik pada-nya, keluarga
Maria. Maria adalah putri sulung Tuan Boutros Rafael Girgis. Bera-sal dari
keluarga Kristen Koptik yang sangat taat. Meskipun seorang gadis dari penganut
Kristen, Maria mampu menghafal Quran surat Maryam dan Al-Maidah.
Pertemuan Fahri dengan Maria berawal
ketika Fahri pindah ke sebuah ru-mah lantai satu yang letaknya di bawah rumah
Maria. Sejak itu mereka saling me-ngenal walau tidak begitu akrab. Suatu hari,
ketika akan melakukan perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang
terletak di Shubra El-Kaima ujung Utara kota Cairo, Maria memanggil Fahri dan
meminta Fahri untuk bisa menitipkan disket yang ingin ia beli.
Di dalam metro menuju tempat tujuan,
Fahri berkenalan dengan seorang pemuda Mesir bernama Ashraf yang juga seorang
muslim. Mereka bercerita ba-nyak tentang Islam. Tak lama kemudian, 3 orang bule
yang berkewarganegaraan Amerika naik ke dalam metro tersebut. Salah satu dari
bule tersebut adalah seo-rang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah, namun
mereka tidak dipeduli-kan karena dianggap kurang beradab oleh masyarakat Mesir.
Ketiga bule tersebut berpakaian yang tidak sesuai dengan budaya orang Mesir
sehingga tidak ada satu-pun di antara penumpang bis yang mau memberikan tempat
duduk kepada mere-ka. Namun salah satu penumpang bis, Aisha tergerak hatinya
untuk memberikan tempat duduknya kepada nenek yang tampaknya tidak sanggup lagi
untuk berdiri. Di sinilah awal terjadinya perdebatan. Orang-orang Mesir
kemudian mengeluar-kan kata-kata pedas kepada Aisha karena perbuatan Aisha yang
memberikan tem-pat duduk kepada orang Amerika dianggap sebagai suatu kesalahan
besar. Fahri kemudian mencoba meredam perdebatan yang seharusnya tidak perlu
ada. Walau apa yang dilakukan Fahri sempat menimbulkan perdebatan yang semakin
panas, namun Fahri meluluhkan hati mereka dengan mengatakan bahwa Islam itu
me-nyayangi sesama.
Sejak kejadian tersebut, Alicia yang
seorang gadis nonmuslim itu menjadi ingin bertemu dengan Fahri dan menanyakan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Merekapun melakukan pertemuan
dengan didampingi oleh Aisha yang seorang gadis Mesir. Karena keterbatasan
waktu, Fahri meminta agar Alicia menuliskan pertanyaannya dan akan dijawab oleh
Fahri dengan tulisan juga. Hal itu diterima oleh Alicia mengingat kesibukan
Fahri yang tidak memungkinkan un-tuk melakukan pertemuan yang memerlukan waktu
yang lama. Fahri menjawab pertanyaan-pertanyaan Alicia dengan tulisan,
mencarikan referensi-referensi yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alicia
tersebut. tidak tanggung-tanggung, Fahri pun juga meminta pertolongan Maria
untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dan juga meminta gurunya untuk
mengoreksi jawaban-jawaban yang te-lah ia tuliskan.
Di Mesir, Fahri tinggal bersama 4 orang
temannya yang juga berasal dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi, dan
Misbah. Di sana Fahri juga bertetangga dengan Bahadur, seorang yang kasar
kepada siapa saja bahkan kepada istrinya Madame Syaima dan putri bungsunya
Noura. Bahadur dan Madame Syaima me-miliki 3 orang putri, yaitu Mona, Suzanna,
dan Noura. Mona dan Suzanna berkulit hitam sama seperti orangtuanya, namun lain
halnya dengan Noura yang berkulit putih dan berambut pirang. Hal ini mengakibatkan
Bahadur mengira kalau istrinya telah berselingkuh dan sangat membenci Noura.
Pada suatu malam, Bahadur menyeret Noura
ke jalanan dengan punggung yang penuh dengan luka cambukan. Melihat hal
tersebut Fahri meminta Maria un-tuk dapat membantu Noura dan membawanya ke
rumah untuk menginap di rumah Maria. Keesokkan harinya, Fahri membawa Noura ke
rumah Nurul untuk dapat diamankan dari keganasan Bahadur. Fahri dan Maria
kemudian berusaha untuk mencari tahu tentang Noura. Akhirnya terungkaplah bahwa
Noura bukanlah anak dari Bahadur dan Madame Syaima. Merekapun membantu untuk
menemukan ke-dua orang tuanya hingga ia bisa berkumpul dengan keluarganya yang
sebenarnya. Bantuan Fahri ternyata membuat Noura jatuh cinta kepadanya. Ia pun
mengirim-kan sepucuk surat ungkapan perasaannya kepada Fahri, namun surat itu
tidak di-tanggapi oleh Fahri karena mengira itu hanyalah ungkapan terima kasih.
Fahri pun kemudian memfokuskan diri kepada ujian yang akan ia hadapi.
Lain lagi dengan Aisha, pertemuan yang
beberapa kali membuatnya jatuh cinta dengan sikap dan sifat Fahri. Ia pun
meminta pamannya Eqbal untuk dapat menjodohkannya dengan Fahri. Fahri yang
memang telah sedang bingung dengan pernikahan yang telah ia targetkan merasa
terjawab sudah dengan tawaran Ustadz Usman untuk menjodohkannya dengan gadis
soleha. Setelah melakukan shalat is-tighoroh dan meminta restu ibunya, ia pun
memantapkan niatnya untuk meminang gadis yang sama sekali belum ia ketahui nama
dan wajahnya itu. Namun betapa terkejutnya ia ketika pertemuan keluarga yang
datang adalah Eqbal dan keluarga-nya. Segeralah ia mengetahui bahwa gadis itu
adalah Aisha yang tak lain adalah keponakan Eqbal. Eqbal dan Fahri telah banyak
mengenal satu sama lain. Tentang Fahri yang miskin dan dapat datang ke Mesir
dengan menjual sawah warisan ka-keknya. Melalui bantuan Syaikh Usman, Fahri pun
bersedia untuk menikah dengan Aisha dan Aisha pun siap menerima Fahri apa
adanya.
Hari pernikahan telah ditentukan, Jumat
setelah ashar, namun cobaan da-tang pada Fahri. Ustadz Jamal dan istrinya
datang menemui Fahri pada siang hari-nya dengan maksud untuk meminangnya untuk
Nurul karena Nurul sangat men-cintai Fahri. Mendengar hal tersebut Fahri sangat
terpukul karena dulunya setiap mendengar nama Nurul hatinya selalu bergetar.
Akan tetapi
cintanya sekarang te-lah menjadi milik Aisha dan hanya hitungan jam saja mereka
akan menikah. Fahri pun menceritakan perihal pernikahan dengan Aisha yang
sebentar lagi akan ter-laksanakan kepada Ustadz Jamal dan istrinya. Ustadz
Jamal pun sangat menya-yangkan dan menyesal terhadap sikapnya yang
menunda-nunda permintaan Nurul untuk meminang Fahri. Pernikahan Fahri dan Aisha
akan segera dilaksanakan dan tidak mungkin untuk dibatalkan. Cobaan itu
membuatnya sedih karena harus me-nyakiti hati Nurul. Sebelum adzan ashar
berkumandang, Sarah Ali Farougi, mem-beri tahu bahwa semuanya telah siap. Fahri
meminta izin pada Eqbal agar bisa melihat wajah Aisha untuk menguatkan hatinya
yang baru saja digoncang dengan kabar yang menyakitkan hati. Tepat saat adzan
ashar berkumandang mereka telah sampai di masjid tempat akad akan dilaksanakan.
Semua para tamu undangan te-lah sampai di sana dan juga para masyarakat Mesir.
Setelah akad nikah mereka tidak langsung
tinggal bersama, 2 hari setelah akad nikah pesta pun digelar. Barulah mereka
pergi ke sebuah flat nomor 21 di tepi sungai nil. Mereka berbulan madu di sana,
dan di akhir minggu Aisha mem-beri kejutan kepada Fahri bahwa flat itu
miliknya. Dan mereka akan menempati flat itu bersama. Tak lama setelah
itu Fahri mendapat kejutan dari Maria dan You-sef. Maria dan adiknya itu
datang ke rumah Fahri untuk memberikan sebuah kado pernikahan. Namun Maria
tampak lebih kurus dan murung. Memang saat Fahri dan Aisha menikah, keluarga
Boutros sedang pergi berlibur. Begitu mendengar Fahri telah menjadi milik
wanita lain dan tidak lagi tinggal di flat, Maria sangat terpukul.
Kebahagiaan Fahri dan Aisha ternyata
tidak bertahan lama karena Fahri harus menjalani hukuman di penjara atas
tuduhan pemerkosaan terhadap Noura. Fahri dibawa ke markas polisi Abbasca.
Fahri diinterogasi dan dimaki dengan ka-ta-kata kotor. Fahri dituduh memperkosa
Noura hingga hamil hampir tiga bulan. Noura teramat luka hatinya saat Fahri
memutuskan untuk menikah dengan Aisha. Di persidangan, Noura yang tengah hamil
itu memberikan kesaksian bahwa janin yang dikandungannya adalah anak Fahri.
Pengacara Fahri tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia belum memiliki bukti
yang kuat untuk membebaskan kliennya dari segala tuduhan. Fahri pun harus
mendekam di penjara selama beberapa minggu dan melewati ramadhan pertamanya di
sel bawah tanah. Satu-satunya saksi kunci yang dapat meloloskan Fahri dari
fitnah kejam Noura adalah Maria. Marialah yang bersama Noura malam itu yaitu
malam yang Noura sebut dalam persidangan sebagai malam di mana Fahri
memperkosanya. Maria sedang terkulai lemah tak berdaya. Luka hati karena cinta
yang bertepuk sebelah tangan membuatnya jatuh sakit. Dan ia terus mengigau
menyebut nama Fahri. Dokter mengatakan sentuhan dan suara Fahri adalah
rangsangan supaya Maria cepat sadar, namun Fahri tidak mau melakukannya karena
Maria bukanlah istrinya. Atas desakan Aisha, Fahri pun menikahi Maria.
Pernikahan itu berlangsung di rumah sakit. Aisha berharap dengan mendengar
suara dan merasakan sentuhan tangan Fahri, Maria tersadar da-ri koma panjangnya
dan dapat memberi kesaksian di pengadilan tentang sebenar-nya yang terjadi.
Akhirnya Maria dapat membuka matanya,
Aisha menceritakan semuanya kepada Maria dan akhirnya Maria bersedia untuk
memberikan kesaksian di persi-dangan. Ketika di pengadilan Maria membawa bukti
bahwa malam itu Maria sam-pai pagi berada di kamarnya dan sama sekali tidak
meninggalkan kamarnya apala-gi masuk ke kamar Fahri, namun naas karena terlalu
emosi Maria yang saat itu masih dalam keadaan sakit langsung jatuh pingsan
setelah memberi kesaksian dan dilarikan ke rumah sakit. Fahri pun memenangkan
pengadilan itu karena Noura mengakui kesalahannya karena telah memfitnah Fahri
dan menyengsarakan orang yang ia cintai. Takbir bergemuruh di ruang pengadilan
itu dilantunkan oleh semua orang yang membela dan simpati pada Fahri. Seketika
Fahri sujud syukur kepada Allah Swt. Aisha memeluk Fahri dengan tangis bahagia
tiada terkira. Paman Eq-bal dan Bibi Sarah tidak mampu membendung airmatanya.
Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman juga sama. Satu persatu orang Indonesia yang ada di
dalam ruang-an itu memberi selamat dengan wajah baru.
Noura menyesal atas perbuatan yang
dilakukannya. Dengan jiwa be-sar Fahri memaafkan Noura. Terungkaplah
bahwa ayah dari bayi dalam kandung-an Noura adalah Bahadur. Fahri, Aisha, dan
Maria mampu menjalani rumah tang-ga mereka dengan baik. Aisha menganggap Maria
sebagai adiknya, demikian pula Maria yang menghormati Aisha selayaknya seorang
kakak. Maria terus mengigau dalam komanya, membaca ayat-ayat surat Maryam
dan dilanjutkan dengan surat Thaha dan air matanya terus mengalir. Setelah ayat
terakhir surat Thaha yang ke-luar dari mulut Maria tersadar dan menceritakan
semuanya kepada Fahri. Maria mengatakan bahwa ia mencium bau surga dan melihat
ke dalam rombongan yang masuk ke dalamnya. Ketika ia mau masuk beberapa kali
malaikat penjaga surga itu tidak mengizinkannya dengan alasan ia bukan termasuk
golongan nabi Mu-hammad. Ia menangis menyebut nama Allah dan akhirnya dari
salah satu pintu surga keluarlah Maryam. Ia mengatakan bahwa jika ingin masuk
surga, ia harus termasuk dalam rombongan nabi Muhammad Saw. Fahri mengerti
bahwa Maria adalah wanita yang muslim hatinya tapi Maria belum mengucapkan
syahadat se-bagai tanda masuknya ia ke dalam agama Islam. Akhirnya Fahri
membantu Maria dengan cara mengambilkan air untuk berwudlu. Dengan sekuat
tenaga Fahri membopong Maria yang kurus kering itu menuju kamar mandi. Aisha
juga mem-bantu membawakan tiang infus. Dengan tetap dibopong oleh Fahri, Maria
diwu-dhui oleh Aisha. Setelah selesai, Maria kembali dibaringkan di atas kasur
seperti semula. Lalu dengan suara lirih yang keluar dari relung jiwa ia
mengucapkan sya-hadat. Ia tetap tersenyum. Perlahan pandangan matanya redup.
Tak lama kemudi-an kedua matanya yang bening itu tertutup rapat. Fahri
memegang tangannya dan denyut nadinya telah berhenti. Tidak ada yang menduga
jika maut akhirnya me-renggut Maria. Maria menghadap Tuhan dengan menyungging
senyum di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi
diucapkannya de-ngan bibir bergetar itu kembali terngiang di telinga Fahri.
Namun Maria sangat beruntung karena sebelum ajal menjemputnya, ia telah menjadi
seorang mu’alaf dengan bantuan Fahri dan Aisha.
ANALISIS
KRITIK NOVEL AYAT-AYAT CINTA
Pada novel Ayat-Ayat Cinta karya
Habiburrahman El Shirazy ini merupa-kan novel bergenre religius. Pada novel ini
mengaitkan kehidupan manusia de-ngan aspek-aspek keagamaan. Novel ini menceritakan
permasalahan-permasalahan yang ada pada kehidupan manusia, mulai dari gaya
hidup bertetangga, pola tingkah pemikiran masyarakat yang beraneka ragam, cinta
yang bertepuk sebelah tangan, poligami, pemfitnahan, sampai pada kesetiaan
dengan latar sosial-budaya Timur Tengah. Semua dikemas dengan uraian-uraian
yang bersifat islami dengan diperkuat oleh dalil-dalil dan hadits-hadits.
Karya sastra adalah salah satu dari
media dalam berdakwah. Dengan karya sastra segala permasalahan kehidupan dapat
tergambarkan dengan solusi yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat. Inilah yang dilakukan oleh seorang novelis yang juga seorang
sarjana Al-Azhar University Cairo. Dengan media novel ia mampu membangun
gambaran-gambaran permasalahan masyarakat dengan solusi yang berdasarkan
pengetahuan agama. Dalam novel ini, ia menceritakan permasalahan kehidupan
dengan latar ala Arab namun diceritakan dengan gaya bahasa Indonesia. Mengutip
pernyataan dari Majalah Muslimah edisi Januari 2006 “Penulis novel ini berhasil
menggambarkan latar (setting) sosial-budaya Timur Tengah dengan sangat hidup
tanpa harus memakai istilah-istilah Arab. Bahasanya yang mengalir,
karakterisasi tokoh-tokohnya yang begitu kuat, dan gambaran latarnya yang begitu
hidup, membuat kisah dalam novel ini terasa benar-benar terjadi. Ini contoh novel
karya penulis muda yang sangat bagus!” Dalam hal ini tokoh-tokoh dibangun
dengan karakteristik yang kuat dan sesuai dengan gambaran kehidupan.
Ayat-Ayat Cinta merupakan judul yang
mewakili isi dari novel ini. Di da-lam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat-ayat
yang menjelaskan tentang cinta, baik cinta antara manusia dengan Tuhannya,
cinta antara manusia dengan manusia lainnya, tak terkecuali cinta antara
manusia yang berlawanan jenis. Kata Ayat yang dituliskan secara
reduplikasi dalam ilmu morfologi menyatakan jamak, artinya dalam Al-Qur’an
terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang cinta dan permasalahan serta
solusi-solusinya. Kenapa judulnya Ayat-Ayat Cinta? Karena di dalam Al-Qur’an,
Tuhan telah mengajarkan bagaimana sebuah cinta itu dibangun dengan tanpa
merusak kesucian dari sebuah arti cinta tersebut. Cinta itu akan terasa sangat
indah, jika dilakukan sesuai dengan pedoman dan petunjuk yang diberikan oleh
Allah Swt. Manusia akan mengecap indahnya cinta dari sesama manusia, jika ia
juga telah mencintai Allah dengan melakukan segala perintahNya dan menjauhi
segala laranganNya. Dan Allah akan menjanjikan surga yang tak ternilai
keindahannya bagi mereka yang menjalankan kehidupan sesuai dengan syariatNya.
Fahri, seorang tokoh yang dibangun oleh
penulis sebagai tokoh utama dalam novel ini. Seorang santri salaf metropolis dan
musafir yang haus ilmu. Memiliki karakter tokoh yang begitu kuat dengan keislamannya
dan kokoh pendiriannya serta seseorang yang pekerja keras. Kesabaran dan gaya
hidup yang patut dicontoh dari seorang Fahri. Tokoh kedua dalam novel ini
adalah Aisha, seorang gadis yang berdarah Jerman, Turki, dan Palestina, namun
lahir dan dibesarkan di Jerman. Sifat lembut dan penyayang tergambar dari
kecantikan nama Aisha. Seorang tokoh yang begitu setia dan juga sabar menerima
segala cobaan berat yang menimpanya dan suaminya. Tokoh ketiga adalah seorang
penganut Kristen Koptik yang sangat taat kepada agamanya, namun telah menghafal
beberapa surat Al-Qur’an terutama surat Maryam yang menjelaskan tentang riwayat
Maryam melahirkan Nabi Isa As., tentang bagaimana cara Nabi Ibrahim memberikan
nasihat kepada ayahnya, tentang Allah Swt yang meninggikan Nabi Idris ke tempat
yang tinggi, dan tentang Allah Swt. yang tidak beranak. Nama Maria yang
bernuansakan wanita Kristen, namun terasa begitu Islami dengan karakter yang
dibangun oleh penulis. Dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang penamaannya
disesuaikan dengan karakter masing-masing tokoh menjadikan cerita ini menjadi
begitu hidup.
Dalam novel ini juga sangat kental
dengan penggambaran sosial-budaya seperti pada kutipan (halaman 51,
paragraf 6) “Salah satu keindahan hidup di Me-sir adalah penduduknya
yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita
seumpama raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh
mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah
meladak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda kemarahannya, hilang tanpa
bekas. Tak ada dendam di belakang yang diingat sampai tujuh ketu-runan seperti
orang Jawa. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja.” Orang Amerika
digambarkan dengan cara berpakaiannya yang ala Barat dan terbuka, sedangkan
orang Mesir digambarkan dengan cara berpakaian yang ala Arab serba tertutup.
Dalam penceritaannya juga disinggung tentang budaya Indonesia yang tidak tepat
waktu atau ngaret, namun dibuktikan oleh tokoh Fahri bahwa tidak semua
orang Indonesia begitu dan tidak semua orang luar Indonesia disiplin dengan
waktu. Hal yang menjadi perhatian dalam penggambaran sosial-budaya pada novel
ini ialah sistem hukuman di Mesir bagi seseorang yang melakukan suatu
kesalahan, maka akan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi bahkan yang
belum terbukti kesalahannya sekalipun. Mereka yang tertuduh bersalah akan disiksa
tanpa ampun hingga kebenarannya terungkap. Apalagi bagi seseorang yang
berkewarga negaraan yang hukum negaranya lemah, maka hampir tidak ada peluang
untuk bisa dibebaskan dari hukuman, bahkan mereka dipaksa untuk mengaku
kesalahan yang sebenarnya tidak ia lakukan.
Sosok Aisha, Maria, Nurul, Noura, dan
Alicia merupakan penggambaran dari karakter-karakter perempuan yang ada dalam
kehidupan nyata. Tentang bagaimana wanita dalam Islam juga sangat diutamakan
dalam novel ini dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh para
tokoh terutama Alicia yang dijawab dengan baik oleh Fahri dengan berlandaskan
dalil-dalil yang ada dan hadits serta pendapat para ulama-ulama terkemuka.
Kenapa dikatakan novel pembangun jiwa?
Karena dalam novel ini tercakup bagaimana Islam mengajarkan manusia dalam
menghadapi masalah-masalah yang merupakan ujian yang diberikan oleh Allah Swt.
Bagaimana seorang Aisha dengan ikhlas dipoligami demi suatu kebenaran. Menjaga
kesuciannya hingga cinta yang hakiki itu datang padanya. Bagaimana seorang
Fahri yang dengan begitu sabar menghadapi ujian berat yang diberikan oleh Allah
Swt kepadanya. Begitu kokohnya ia menggenggam kebenaran demi nama Tuhannya. Dan
bagaimana seorang Maria yang disentuh hatinya hingga bisa masuk Islam sebelum
ajal menjemput. Semua tergambar dengan baik di dalam Ayat-Ayat Cinta.
*Salah
satu tugas kuliah menulis keritik esay
0 comments: