Kritik Pragmatik: Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy

Senin, Mei 22, 2017 putriintania 0 Comments

SINOPSIS NOVEL AYAT-AYAT CINTA

Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy mengisahkan ten-tang seorang tokoh bernama Fahri yang merupakan pemuda dari Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, Mesir. Adapun syarat untuk bisa menjadi pelajar di Universitas Al-Azhar adalah harus dapat menghapal Al-Quran. Fahri yang merupakan pribadi  yang sangat menjunjung nilai-nilai keimanan dalam aga-ma Islam tentu saja hapal Al-Quran. Nilai-nilai keimanan itulah yang dia praktik-kan dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun ia tinggal di sebuah rumah susun tanpa sanak keluarga dari In-donesia, namun dia beruntung karena mengenal keluarga yang begitu baik pada-nya, keluarga Maria. Maria adalah putri sulung Tuan Boutros Rafael Girgis. Bera-sal dari keluarga Kristen Koptik yang sangat taat. Meskipun seorang gadis dari penganut Kristen, Maria mampu menghafal Quran surat Maryam dan Al-Maidah.
Pertemuan Fahri dengan Maria berawal ketika Fahri pindah ke sebuah ru-mah lantai satu yang letaknya di bawah rumah Maria. Sejak itu mereka saling me-ngenal walau tidak begitu akrab. Suatu hari, ketika akan melakukan perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Kaima ujung Utara kota Cairo, Maria memanggil Fahri dan meminta Fahri untuk bisa menitipkan disket yang ingin ia beli.
Di dalam metro menuju tempat tujuan, Fahri berkenalan dengan seorang pemuda Mesir bernama Ashraf yang juga seorang muslim. Mereka bercerita ba-nyak tentang Islam. Tak lama kemudian, 3 orang bule yang berkewarganegaraan Amerika naik ke dalam metro tersebut. Salah satu dari bule tersebut adalah seo-rang nenek yang kelihatannya sudah sangat lelah, namun mereka tidak dipeduli-kan karena dianggap kurang beradab oleh masyarakat Mesir. Ketiga bule tersebut berpakaian yang tidak sesuai dengan budaya orang Mesir sehingga tidak ada satu-pun di antara penumpang bis yang mau memberikan tempat duduk kepada mere-ka. Namun salah satu penumpang bis, Aisha tergerak hatinya untuk memberikan tempat duduknya kepada nenek yang tampaknya tidak sanggup lagi untuk berdiri. Di sinilah awal terjadinya perdebatan. Orang-orang Mesir kemudian mengeluar-kan kata-kata pedas kepada Aisha karena perbuatan Aisha yang memberikan tem-pat duduk kepada orang Amerika dianggap sebagai suatu kesalahan besar. Fahri kemudian mencoba meredam perdebatan yang seharusnya tidak perlu ada. Walau apa yang dilakukan Fahri sempat menimbulkan perdebatan yang semakin panas, namun Fahri meluluhkan hati mereka dengan mengatakan bahwa Islam itu me-nyayangi sesama.
Sejak kejadian tersebut, Alicia yang seorang gadis nonmuslim itu menjadi ingin bertemu dengan Fahri dan menanyakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Merekapun melakukan pertemuan dengan didampingi oleh Aisha yang seorang gadis Mesir. Karena keterbatasan waktu, Fahri meminta agar Alicia menuliskan pertanyaannya dan akan dijawab oleh Fahri dengan tulisan juga. Hal itu diterima oleh Alicia mengingat kesibukan Fahri yang tidak memungkinkan un-tuk melakukan pertemuan yang memerlukan waktu yang lama. Fahri menjawab pertanyaan-pertanyaan Alicia dengan tulisan, mencarikan referensi-referensi yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alicia tersebut. tidak tanggung-tanggung, Fahri pun juga meminta pertolongan Maria untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dan juga meminta gurunya untuk mengoreksi jawaban-jawaban yang te-lah ia tuliskan.
Di Mesir, Fahri tinggal bersama 4 orang temannya yang juga berasal dari Indonesia, yaitu Saiful, Rudi, Hamdi, dan Misbah. Di sana Fahri juga bertetangga dengan Bahadur, seorang yang kasar kepada siapa saja bahkan kepada istrinya Madame Syaima dan putri bungsunya Noura. Bahadur dan Madame Syaima me-miliki 3 orang putri, yaitu Mona, Suzanna, dan Noura. Mona dan Suzanna berkulit hitam sama seperti orangtuanya, namun lain halnya dengan Noura yang berkulit putih dan berambut pirang. Hal ini mengakibatkan Bahadur mengira kalau istrinya telah berselingkuh dan sangat membenci Noura.
Pada suatu malam, Bahadur menyeret Noura ke jalanan dengan punggung yang penuh dengan luka cambukan. Melihat hal tersebut Fahri meminta Maria un-tuk dapat membantu Noura dan membawanya ke rumah untuk menginap di rumah Maria. Keesokkan harinya, Fahri membawa Noura ke rumah Nurul untuk dapat diamankan dari keganasan Bahadur. Fahri dan Maria kemudian berusaha untuk mencari tahu tentang Noura. Akhirnya terungkaplah bahwa Noura bukanlah anak dari Bahadur dan Madame Syaima. Merekapun membantu untuk menemukan ke-dua orang tuanya hingga ia bisa berkumpul dengan keluarganya yang sebenarnya. Bantuan Fahri ternyata membuat Noura jatuh cinta kepadanya. Ia pun mengirim-kan sepucuk surat ungkapan perasaannya kepada Fahri, namun surat itu tidak di-tanggapi oleh Fahri karena mengira itu hanyalah ungkapan terima kasih. Fahri pun kemudian memfokuskan diri kepada ujian yang akan ia hadapi.
Lain lagi dengan Aisha, pertemuan yang beberapa kali membuatnya jatuh cinta dengan sikap dan sifat Fahri. Ia pun meminta pamannya Eqbal untuk dapat menjodohkannya dengan Fahri. Fahri yang memang telah sedang bingung dengan pernikahan yang telah ia targetkan merasa terjawab sudah dengan tawaran Ustadz Usman untuk menjodohkannya dengan gadis soleha. Setelah melakukan shalat is-tighoroh dan meminta restu ibunya, ia pun memantapkan niatnya untuk meminang gadis yang sama sekali belum ia ketahui nama dan wajahnya itu. Namun betapa terkejutnya ia ketika pertemuan keluarga yang datang adalah Eqbal dan keluarga-nya. Segeralah ia mengetahui bahwa gadis itu adalah Aisha yang tak lain adalah keponakan Eqbal. Eqbal dan Fahri telah banyak mengenal satu sama lain. Tentang Fahri yang miskin dan dapat datang ke Mesir dengan menjual sawah warisan ka-keknya. Melalui bantuan Syaikh Usman, Fahri pun bersedia untuk menikah dengan Aisha dan Aisha pun siap menerima Fahri apa adanya.
Hari pernikahan telah ditentukan, Jumat setelah ashar, namun cobaan da-tang pada Fahri. Ustadz Jamal dan istrinya datang menemui Fahri pada siang hari-nya dengan maksud untuk meminangnya untuk Nurul karena Nurul sangat men-cintai Fahri. Mendengar hal tersebut Fahri sangat terpukul karena dulunya setiap mendengar nama Nurul hatinya selalu bergetar. Akan tetapi cintanya sekarang te-lah menjadi milik Aisha dan hanya hitungan jam saja mereka akan menikah. Fahri pun menceritakan perihal pernikahan dengan Aisha yang sebentar lagi akan ter-laksanakan kepada Ustadz Jamal dan istrinya. Ustadz Jamal pun sangat menya-yangkan dan menyesal terhadap sikapnya yang menunda-nunda permintaan Nurul untuk meminang Fahri. Pernikahan Fahri dan Aisha akan segera dilaksanakan dan tidak mungkin untuk dibatalkan. Cobaan itu membuatnya sedih karena harus me-nyakiti hati Nurul. Sebelum adzan ashar berkumandang, Sarah Ali Farougi, mem-beri tahu bahwa semuanya telah siap. Fahri meminta izin pada Eqbal agar bisa melihat wajah Aisha untuk menguatkan hatinya yang baru saja digoncang dengan kabar yang menyakitkan hati. Tepat saat adzan ashar berkumandang mereka telah sampai di masjid tempat akad akan dilaksanakan. Semua para tamu undangan te-lah sampai di sana dan juga para masyarakat Mesir.
Setelah akad nikah mereka tidak langsung tinggal bersama, 2 hari setelah akad nikah pesta pun digelar. Barulah mereka pergi ke sebuah flat nomor 21 di tepi sungai nil. Mereka berbulan madu di sana, dan di akhir minggu Aisha mem-beri kejutan kepada Fahri bahwa flat itu miliknya. Dan mereka akan menempati flat itu bersama. Tak lama setelah itu Fahri mendapat kejutan dari Maria dan You-sef. Maria dan adiknya itu datang ke rumah Fahri untuk memberikan sebuah kado pernikahan. Namun Maria tampak lebih kurus dan murung. Memang saat Fahri dan Aisha menikah, keluarga Boutros sedang pergi berlibur. Begitu mendengar Fahri telah menjadi milik wanita lain dan tidak lagi tinggal di flat, Maria sangat terpukul.
Kebahagiaan Fahri dan Aisha ternyata tidak bertahan lama karena Fahri harus menjalani hukuman di penjara atas tuduhan pemerkosaan terhadap Noura. Fahri dibawa ke markas polisi Abbasca. Fahri diinterogasi dan dimaki dengan ka-ta-kata kotor. Fahri dituduh memperkosa Noura hingga hamil hampir tiga bulan. Noura teramat luka hatinya saat Fahri memutuskan untuk menikah dengan Aisha. Di persidangan, Noura yang tengah hamil itu memberikan kesaksian bahwa janin yang dikandungannya adalah anak Fahri. Pengacara Fahri tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia belum memiliki bukti yang kuat untuk membebaskan kliennya dari segala tuduhan. Fahri pun harus mendekam di penjara selama beberapa minggu dan melewati ramadhan pertamanya di sel bawah tanah. Satu-satunya saksi kunci yang dapat meloloskan Fahri dari fitnah kejam Noura adalah Maria. Marialah yang bersama Noura malam itu yaitu malam yang Noura sebut dalam persidangan sebagai malam di mana Fahri memperkosanya. Maria sedang terkulai lemah tak berdaya. Luka hati karena cinta yang bertepuk sebelah tangan membuatnya jatuh sakit. Dan ia terus mengigau menyebut nama Fahri. Dokter mengatakan sentuhan dan suara Fahri adalah rangsangan supaya Maria cepat sadar, namun Fahri tidak mau melakukannya karena Maria bukanlah istrinya. Atas desakan Aisha, Fahri pun menikahi Maria. Pernikahan itu berlangsung di rumah sakit. Aisha berharap dengan mendengar suara dan merasakan sentuhan tangan Fahri, Maria tersadar da-ri koma panjangnya dan dapat memberi kesaksian di pengadilan tentang sebenar-nya yang terjadi.
Akhirnya Maria dapat membuka matanya, Aisha menceritakan semuanya kepada Maria dan akhirnya Maria bersedia untuk memberikan kesaksian di persi-dangan. Ketika di pengadilan Maria membawa bukti bahwa malam itu Maria sam-pai pagi berada di kamarnya dan sama sekali tidak meninggalkan kamarnya apala-gi masuk ke kamar Fahri, namun naas karena terlalu emosi Maria yang saat itu masih dalam keadaan sakit langsung jatuh pingsan setelah memberi kesaksian dan dilarikan ke rumah sakit. Fahri pun memenangkan pengadilan itu karena Noura mengakui kesalahannya karena telah memfitnah Fahri dan menyengsarakan orang yang ia cintai. Takbir bergemuruh di ruang pengadilan itu dilantunkan oleh semua orang yang membela dan simpati pada Fahri. Seketika Fahri sujud syukur kepada Allah Swt. Aisha memeluk Fahri dengan tangis bahagia tiada terkira. Paman Eq-bal dan Bibi Sarah tidak mampu membendung airmatanya. Syaikh Ahmad dan Ummu Aiman juga sama. Satu persatu orang Indonesia yang ada di dalam ruang-an itu memberi selamat dengan wajah baru.
Noura menyesal atas perbuatan yang dilakukannya. Dengan jiwa be-sar  Fahri memaafkan Noura. Terungkaplah bahwa ayah dari bayi dalam kandung-an Noura adalah Bahadur. Fahri, Aisha, dan Maria mampu menjalani rumah tang-ga mereka dengan baik. Aisha menganggap Maria sebagai adiknya, demikian pula Maria yang menghormati Aisha selayaknya seorang kakak.  Maria terus mengigau dalam komanya, membaca ayat-ayat surat Maryam dan dilanjutkan dengan surat Thaha dan air matanya terus mengalir. Setelah ayat terakhir surat Thaha yang ke-luar dari mulut Maria tersadar dan menceritakan semuanya kepada Fahri. Maria mengatakan bahwa ia mencium bau surga dan melihat ke dalam rombongan yang masuk ke dalamnya. Ketika ia mau masuk beberapa kali malaikat penjaga surga itu tidak mengizinkannya dengan alasan ia bukan termasuk golongan nabi Mu-hammad. Ia menangis menyebut nama Allah dan akhirnya dari salah satu pintu surga keluarlah Maryam. Ia mengatakan bahwa jika ingin masuk surga, ia harus termasuk dalam rombongan nabi Muhammad Saw. Fahri mengerti bahwa Maria adalah wanita yang muslim hatinya tapi Maria belum mengucapkan syahadat se-bagai tanda masuknya ia ke dalam agama Islam. Akhirnya Fahri membantu Maria dengan cara mengambilkan air untuk berwudlu. Dengan sekuat tenaga Fahri membopong Maria yang kurus kering itu menuju kamar mandi. Aisha juga mem-bantu membawakan tiang infus. Dengan tetap dibopong oleh Fahri, Maria diwu-dhui oleh Aisha. Setelah selesai, Maria kembali dibaringkan di atas kasur seperti semula. Lalu dengan suara lirih yang keluar dari relung jiwa ia mengucapkan sya-hadat. Ia tetap tersenyum. Perlahan pandangan matanya redup. Tak lama kemudi-an kedua matanya yang bening itu tertutup rapat. Fahri memegang tangannya dan denyut nadinya telah berhenti. Tidak ada yang menduga jika maut akhirnya me-renggut Maria. Maria menghadap Tuhan dengan menyungging senyum di bibir. Wajahnya bersih seakan diselimuti cahaya. Kata-kata yang tadi diucapkannya de-ngan bibir bergetar itu kembali terngiang di telinga Fahri. Namun Maria sangat beruntung karena sebelum ajal menjemputnya, ia telah menjadi seorang mu’alaf dengan bantuan Fahri dan Aisha.

ANALISIS KRITIK NOVEL AYAT-AYAT CINTA

Pada novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy ini merupa-kan novel bergenre religius. Pada novel ini mengaitkan kehidupan manusia de-ngan aspek-aspek keagamaan. Novel ini menceritakan permasalahan-permasalahan yang ada pada kehidupan manusia, mulai dari gaya hidup bertetangga, pola tingkah pemikiran masyarakat yang beraneka ragam, cinta yang bertepuk sebelah tangan, poligami, pemfitnahan, sampai pada kesetiaan dengan latar sosial-budaya Timur Tengah. Semua dikemas dengan uraian-uraian yang bersifat islami dengan diperkuat oleh dalil-dalil dan hadits-hadits.
Karya sastra adalah salah satu dari media dalam berdakwah. Dengan karya sastra segala permasalahan kehidupan dapat tergambarkan dengan solusi yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Inilah yang dilakukan oleh seorang novelis yang juga seorang sarjana Al-Azhar University Cairo. Dengan media novel ia mampu membangun gambaran-gambaran permasalahan masyarakat dengan solusi yang berdasarkan pengetahuan agama. Dalam novel ini, ia menceritakan permasalahan kehidupan dengan latar ala Arab namun diceritakan dengan gaya bahasa Indonesia. Mengutip pernyataan dari Majalah Muslimah edisi Januari 2006 “Penulis novel ini berhasil menggambarkan latar (setting) sosial-budaya Timur Tengah dengan sangat hidup tanpa harus memakai istilah-istilah Arab. Bahasanya yang mengalir, karakterisasi tokoh-tokohnya yang begitu kuat, dan gambaran latarnya yang begitu hidup, membuat kisah dalam novel ini terasa benar-benar terjadi. Ini contoh novel karya penulis muda yang sangat bagus!” Dalam hal ini tokoh-tokoh dibangun dengan karakteristik yang kuat dan sesuai dengan gambaran kehidupan.
Ayat-Ayat Cinta merupakan judul yang mewakili isi dari novel ini. Di da-lam Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang cinta, baik cinta antara manusia dengan Tuhannya, cinta antara manusia dengan manusia lainnya, tak terkecuali cinta antara manusia yang berlawanan jenis. Kata Ayat yang dituliskan secara reduplikasi dalam ilmu morfologi menyatakan jamak, artinya dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang cinta dan permasalahan serta solusi-solusinya. Kenapa judulnya Ayat-Ayat Cinta? Karena di dalam Al-Qur’an, Tuhan telah mengajarkan bagaimana sebuah cinta itu dibangun dengan tanpa merusak kesucian dari sebuah arti cinta tersebut. Cinta itu akan terasa sangat indah, jika dilakukan sesuai dengan pedoman dan petunjuk yang diberikan oleh Allah Swt. Manusia akan mengecap indahnya cinta dari sesama manusia, jika ia juga telah mencintai Allah dengan melakukan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Dan Allah akan menjanjikan surga yang tak ternilai keindahannya bagi mereka yang menjalankan kehidupan sesuai dengan syariatNya.
Fahri, seorang tokoh yang dibangun oleh penulis sebagai tokoh utama dalam novel ini. Seorang santri salaf metropolis dan musafir yang haus ilmu. Memiliki karakter tokoh yang begitu kuat dengan keislamannya dan kokoh pendiriannya serta seseorang yang pekerja keras. Kesabaran dan gaya hidup yang patut dicontoh dari seorang Fahri. Tokoh kedua dalam novel ini adalah Aisha, seorang gadis yang berdarah Jerman, Turki, dan Palestina, namun lahir dan dibesarkan di Jerman. Sifat lembut dan penyayang tergambar dari kecantikan nama Aisha. Seorang tokoh yang begitu setia dan juga sabar menerima segala cobaan berat yang menimpanya dan suaminya. Tokoh ketiga adalah seorang penganut Kristen Koptik yang sangat taat kepada agamanya, namun telah menghafal beberapa surat Al-Qur’an terutama surat Maryam yang menjelaskan tentang riwayat Maryam melahirkan Nabi Isa As., tentang bagaimana cara Nabi Ibrahim memberikan nasihat kepada ayahnya, tentang Allah Swt yang meninggikan Nabi Idris ke tempat yang tinggi, dan tentang Allah Swt. yang tidak beranak. Nama Maria yang bernuansakan wanita Kristen, namun terasa begitu Islami dengan karakter yang dibangun oleh penulis. Dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang penamaannya disesuaikan dengan karakter masing-masing tokoh menjadikan cerita ini menjadi begitu hidup.
Dalam novel ini juga sangat kental dengan penggambaran sosial-budaya seperti pada kutipan (halaman 51, paragraf  6) “Salah satu keindahan hidup di Me-sir adalah penduduknya yang lembut hatinya. Jika sudah tersentuh mereka akan memperlakukan kita seumpama raja. Mereka terkadang keras kepala, tapi jika sudah jinak dan luluh mereka bisa melakukan kebaikan seperti malaikat. Mereka kalau marah meladak-ledak tapi kalau sudah reda benar-benar reda kemarahannya, hilang tanpa bekas. Tak ada dendam di belakang yang diingat sampai tujuh ketu-runan seperti orang Jawa. Mereka mudah menerima kebenaran dari siapa saja.” Orang Amerika digambarkan dengan cara berpakaiannya yang ala Barat dan terbuka, sedangkan orang Mesir digambarkan dengan cara berpakaian yang ala Arab serba tertutup. Dalam penceritaannya juga disinggung tentang budaya Indonesia yang tidak tepat waktu atau ngaret, namun dibuktikan oleh tokoh Fahri bahwa tidak semua orang Indonesia begitu dan tidak semua orang luar Indonesia disiplin dengan waktu. Hal yang menjadi perhatian dalam penggambaran sosial-budaya pada novel ini ialah sistem hukuman di Mesir bagi seseorang yang melakukan suatu kesalahan, maka akan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi bahkan yang belum terbukti kesalahannya sekalipun. Mereka yang tertuduh bersalah akan disiksa tanpa ampun hingga kebenarannya terungkap. Apalagi bagi seseorang yang berkewarga negaraan yang hukum negaranya lemah, maka hampir tidak ada peluang untuk bisa dibebaskan dari hukuman, bahkan mereka dipaksa untuk mengaku kesalahan yang sebenarnya tidak ia lakukan.
Sosok Aisha, Maria, Nurul, Noura, dan Alicia merupakan penggambaran dari karakter-karakter perempuan yang ada dalam kehidupan nyata. Tentang bagaimana wanita dalam Islam juga sangat diutamakan dalam novel ini dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh para tokoh terutama Alicia yang dijawab dengan baik oleh Fahri dengan berlandaskan dalil-dalil yang ada dan hadits serta pendapat para ulama-ulama terkemuka.

Kenapa dikatakan novel pembangun jiwa? Karena dalam novel ini tercakup bagaimana Islam mengajarkan manusia dalam menghadapi masalah-masalah yang merupakan ujian yang diberikan oleh Allah Swt. Bagaimana seorang Aisha dengan ikhlas dipoligami demi suatu kebenaran. Menjaga kesuciannya hingga cinta yang hakiki itu datang padanya. Bagaimana seorang Fahri yang dengan begitu sabar menghadapi ujian berat yang diberikan oleh Allah Swt kepadanya. Begitu kokohnya ia menggenggam kebenaran demi nama Tuhannya. Dan bagaimana seorang Maria yang disentuh hatinya hingga bisa masuk Islam sebelum ajal menjemput. Semua tergambar dengan baik di dalam Ayat-Ayat Cinta.


*Salah satu tugas kuliah menulis keritik esay

You Might Also Like

0 comments: